SUMBER HUKUM ISLAM
Manusia
disebut taat dan patuh manakala hidupnya rela di atur oleh islam dalam kondisi
apapun. Sebagai agama hukum, islam mengatur kehidupan manusia (dunia dan
akhirat) dengan dua pedoman pokok yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah, seperti disebutkan dalam hadis:
لَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ
اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّّّّّّّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا بَعْدِيْ كِتَابُ
اللهِ وَسُنَّتِيْ
“Sesungguhnya
aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Engkau tidak akan tersesat sesudahku
selagi berpegang kepada keduanya selamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku”. (H.R.
Al- Hakim dari Abu Hurairah)
I.
AL-QUR’AN
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ
لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan”. (An-Nahl : 44)
A.
Pengertian Tentang
Al-Qur’an.
Al-Qur’an
menurut bahasa artinya “Bacaan”, seperti di sebutkan dalam QS.
Al-Qiyamah: 17-18:
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkan dan membacanya. Apabila Kami telah
membacanya maka ikutilah bacaan itu”.
Sedang
menurut istilah: “Kumpulan firman Allah yang di turunkan kepada Nabi
Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril”.
B. Kepercayaan terhadap Al-Qur’an meliputi:
1.
Diturunkan kepada Nabi Muhammad. QS. Ibrahim:1.
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami
turunkan kepadamu”.
2.
Di turunkan oleh Allah kepada Nabi saw melalui perantara Malaikat
Jibril. QS. As-Syu’ara’:192-193.
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta alam. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)”.
3.
Di sampaikan oleh Nabi saw kepada umatnya. QS. Al-Maidah:67.
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya”.
4.
Kemurnian Al-Qur’an. Hal ini dapat di lihat dari beberapa hal:
1)
Dijaga langsung oleh Allah. QS. Al-Hijr:9.
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
2)
Di sampaikan oleh Jibril dan dimasukkan kedalam hati Nabi saw. QS. Asy-Syu’ara’:
194.
“dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.
3)
Nabi tidak mengucapkannya sebelum habis wahyunya (tidak
terburu-buru). QS. Al-Qiyamah: 16-19. /
Thaha: 114.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al
Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu”.
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya,
dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu[946], dan katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
[946]. Maksudnya: Nabi Muhammad
s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril kalimat demi kalimat, sebelum Jibril selesai
membacakannya, agar Nabi Muhammad s.a.w. dapat menghafal dan memahami
betul-betul ayat yang diturunkan itu.
4)
Nabi bersifat “Ummi” (tidak
dapat baca dan tulis), QS. Al-A’raf: 157.
/ Al-Jum’ah: 2.
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang
ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada
di sisi mereka,”
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).”
5)
Nabi tidak pernah berguru kepada seseorang, QS. An-Nahl: 103.
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka
berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam[840], sedang Al Quran adalah
dalam bahasa Arab yang terang”.
[840]. Bahasa 'Ajam ialah bahasa
selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena
orang yang dituduh mengajari Muhammad itu bukanlah orang Arab dan hanya tahu
sedikit-sedikit tentang bahasa Arab.
A.
HADITS
/ AS-SUNNAH
1.
Pengertian
Hadis.
Secara
bahasa hadis bisa berarti: “baru, dekat dan khabar”. Sedangkan dalam tradisi hukum islam berarti: “Segala
perbuatan (fi’liy), perkataan (qauliy) dan pengakuan / penetapan (taqriiy)
Nabi Muhammad saw”.
Pengertian
hadis tersebut identik dengan “As-Sunnah” yang secara etimologi
berarti “Jalan, aturan atau tradisi”,
seperti dalam surat Al-Isra’:77: “Sunnata man qad arsalna” (kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap
Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu.
2.
As-Sunnah
sebagai sumber Hukum.
As-Sunnah
adalah sumber hukum islam kedua setelah Al-qur’an. Setelah meyakini Al-qur’an
sebagai sumber hukum, maka secara otomatis wajib mayakini As-Sunnah sebagai
sember hokum pula.
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Di
antaranya di sebutkan dalam Al-qur’an:
1)
Setiap mu’min
wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya. Al-Anfal:20, Muhammad:33, An-Nisa’:59,
Ali Imran:32, Al-Maidah:92.
2)
Kepatuhan
kepada rasul berarti kepatuhan kepada Allah. An-Nisa’:80, Ali Imran:31.
3)
Orang yang
menyalahi Sunnah akan memperoleh siksa. Al-Anfal:13, Al-Mujadalah:5,
An-Nisa’:115.
4)
Berhukum dengan
As-Sunnah adalah tanda orang yang beriman. An-Nisa’:65.
5)
Jika As-Sunnah
tidak di jadikan sebagai sumber hukum, maka seorang muslim akan mengalami
kesulitan dalam hal:
a.
Cara bersuci
(thaharah), cara shalat, kadar zakat,
cara haji, bermu’amalah dan lain-lain.
b.
Menafsirkan
ayat-ayat “musytarak / muhtamal (serupa)” yang mau tidak
mau memerlukan penjelasan dari As-Sunnah. Jika tidak, maka akan melahirkan
penafsiran-penafsiran yang subjektif dan tidak dapat di pertanggung jawabkan.
3.
Fungsi
As-Sunnah terhadap Al-qur’an.
1)
Bayan
Tafsiri, yaitu menerangkan ayat-ayat yang bersifat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadis:”Shalluu kama raitumuunii ushallii” (“Shalatlah
sebagaimana engkau melihatku ketika aku shalat)”. Hadis ini menerangkan ayat : “Aqiimush-shalaata”
(“Dirikanlah shalat)”. Demikian pula hadis: “Hudzuu ‘annii
manaasikakum” (“Ambillah dariku perbuatan hajiku)”, yang
menerangkan ayat:”Wa atimmul hajja” (“Dan sempurnakanlah
hajimu)”.
2)
Bayan
taqriri, yaitu: memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-qur’an. Seperti
hadis:”Shuuumuu lira’yatihii
wafthiruu liru’yatihii”. HR. Bukhar,Muslim dan Nasa-i) (“Berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya), adalah
memperkokoh QS. Al-Baqarah:185:
Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka),
3)
Bayan
Taudhih, yaitu: menerangkan maksud dan tujuan ayat Al-qur’an, seperti
pernyataan Nabi saw:
a.
”Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
di zakati”. Ini adalah memperjelas (taudhih) QS. At-Taubah:34: “Dan
orang-orang yang menimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di
jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan adzab yang pedih”.
Pada awal turunnya ayat ini banyak sahabat yang merasa keberatan
melaksanakankannya, lalu mereka bertanya kepada Nabi saw yang kemudian di jawab
oleh beliau saw dengan hadis ini.
b.
“Shalat jum’at itu haq yang wajib di kerjakan oleh
setiap muslim dengan berjamaah”. Ini memperjelas QS. A-Jum’ah:9: “Apa bila di seru untuk
menunaikan shalat pada hari jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.
Ayat tersebut
apa bila tidak di perjelas dengan hadis Nabi saw, maka tidak ada shalat jum’at,
karena dzahir dari ayat itu hanya menyebutkan shalat di hari jum’at (tidak
menyebut shalat jum’at).
4.
Perbedaan antara Al-qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum.
1)
Nilai kebenaran Al-qur’an adalah qath’i (absolute),
sedangkan hadis adalah dzanni (mungkin / terkadang),
kecuali hadis mutawatir.
2)
Seluruh ayat Al-qur’an wajib di jadikan sebagai pedoman, tetapi
tidak semua hadis wajib di jadikan pedoman.
Sebab di samping sunnah Tasyri’ ada juga sunnah ghairy
Tasyri’, di samping hadis shahih ada pula hadis dha’if
(lemah) dan seterusnya.
3)
Al-qur’an pasti otentik baik lafdziyah maupun maknanya, sedangkan
hadis tidak.
5.
Sejarah singkat perkembangan hadis.
Para ulama’
membagi perkembangan al-hadis menjadi 7 periode:
1)
Masa turunnya wahyu (Al-qur’an) dan
pembentukan hukum, yaitu pada masa Rasul (13 SH
- 11 H).
2)
Masa pembatasan riwayat, yaitu pada masa khulafaurrasyidin:
(12 -
40 H).
3) Masa pencarian
hadis, yaitu pada masa generasi tabi’in dan
sahabat-sahabat muda (41 H - akhir abad
I H).
4)
Masa pembukuan hadis, yaitu pada permulaan abad ke II H.
5)
Masa penyaringan dan seleksi ketat, yaitu awal abad ke III H s/d selesai.
6)
Masa penyusunan kitab-kitab koleksi, yaitu awal abad ke IV H s/d jatuhnya Baghdad pada th. 656 H.
7)
Masa pembuatan kitab matan syarah hadis dan penyusunan kitab-kitab
koleksi yang lebih umum (656 H dan
seterusnya).
6.
Sebab tidak di tulisnya hadis di masa Rasul
1)
Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sehabat tertentu yang
di izinkan oleh beliau sebagai catatan pribadi.
2)
Sebagai sumber islam, Rasulullah masih berada di tengah-tengah umat
islam, sehingga di pandang tidak terlalu perlu untuk di tulis saat itu. Di samping itu juga
keterbatasan kemampuan tulis dan baca di kalangan sahabat.
3)
Saat itu umat islam sedang di konsentrasikan kepada Al-qur’an, dan
kesibukan umat islam dalam menghadapi perjuangan yang sangat berat.
Menurut sejarah, ada sahabat yang mencatat hadis-hadis Nabi
saw di masa beliau, di antaranya: ‘Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin ‘Amr. Dan baru dikumpulkan dan bukukan oleh Imam
Syihab Az-Zuhri atas perintah Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke 8, (pada periode Tabiin, 99 – 101 H).
Sebelumnya, hadis-hadis itu hanya di sampaikan melalui
hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah beliau saw
wafat, di antaranya:
1)
Abu Hurairah, meriwayatkan sekitar 5.374 hadis.
2)
Abdullah bin Umar, meriwayatkan sekitar 2.630 hadis.
3)
Anas bin Malik, meriwayatkan sekitar 2.286 hadis.
4)
‘Aisyah (istri Nabi saw), meriwayatkan sekitar 2.210 hadis.
5)
Abdullah bin Abbas, meriwayatkan sekitar 1.160 hadis.
6)
Jabir bin Abdillah, meriwayatkan sekitar 1.540 hadis.
7)
Abu Sa’id, meriwayatkan sekitar 1.170 hadis.
7.
Hal-hal yang berhubungan dengan hadis.
1)
Pembagian hadis atas dasar kualitasnya:
a.
Maqbul (dapat di
terima sebagai pedoman syari’at) yang mencakup hadis shahih dan hasan.
c.
Mardud (tidak dapat
di terima sebagai pedoman) yang mencakup hadis dha’if / lemah dan maudhu’ /
palsu.
2)
Pembagian hadis atas dasar unsur-unsur hadis:
a.
Matan (materi hadis). Suatu hadis dapat dinilai
baik jika materi tidak bertentangan dengan Al-qur’an atau hadis lain yang lebih
kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta
sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
Untuk sekedar
contoh dan pelajaran dapat kita perhatikan hadis-hadis itu yang dinilai baik,
seperti:
-
“Seorang mayat akan di siksa karena ratapan ahli
warisnya”. Ini
bertentangan dengan ayat: “Walaa taziru
waa ziratu ukhraa” (“Dan seseorang tidak akan memikul dosa
orang lain”). Al-An’am:164.
-
“Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan punya
hutang puasa, maka hendaklah di puasakan oleh walinya”. Ini bertentangan ayat: ”Wa allaisa lil insaani illaa maa
sa’aa” (“Dan seorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa
yang ia kerjakan sendiri”. An-Najm:39.
b.
Sanad (persambungan
antara pembawa dan penerima hadis). Sanad dapat di nilai baik apabila antara
pembawa sdan penerima hadis itu benar-benar bertemu atau berguru langsung
dengannya. Tidak boleh ada orang lain yang perperanan membawa hadis itu tetapi
tidak Nampak dalam susunan pembawa hadis.
c.
Rawi (orang yang
membawakan / meriwayatkan hadis). Orang
yang dapat di terima hadisnya ialah yang memenuhi persyaratan:
-
‘Adil, yaitu orang islam yang sudah bakigh dan jujur, tidak pernah
berdusta dan tidak membiasakan berdosa.
-
Hafidz, yaitu orang tingkat hafalannya tinggi (tidak pelupa) atau
mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggung jawabkan.
8.
Macam-macam hadits antara lain:
1)
Hadits mutawatir: Hadis yang
banyak memiliki banyak sanad dan mustahil rawinya berdusta kepada nabi saw, sebab hadis ini di
riwayatkan oleh orang banyak dan di sampaikan kepada orang banyak.
2)
Hadits masyhur: Hadis yang
di riwayatkan olah tiga sanad yang berlainan.
3)
Hadits shahih: Hadis yang
cukup sanadnya dari awal sampai akhir oleh orang-orang yang sempurna
hafalannya.
4)
Hadits hasan: Hadis yang
dari tingkat hafalannya kurang di bawah hadis shahih.
5)
Hadits marfu’: Hadis yang
harus di selidiki lebih dahulu dalam kitab-kitab hadis, apakah itu perkataan
nabi atau sahabat.
6)
Hadits dhaif: Hadis yang
tidak bersambung sanadnya, atau di antara sanad-sanadnya ada cacat, misalkan
bukan orang islam, belum baligh, pelupa, pendusta dan sebagainya.
7)
Hadis mursal: Hadis yang di
riwayatkan oleh tabiin dengan menyebutkan bahwa ia menerima dari nabi, padahal tabiin
tidak mungkin bertemu nabi saw.
8)
Hadis mauquf: Perkataan,
perbuatan dan penetapan (taqrir) sahabat.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar